Liputannews17.com, Kabupaten Bima – Konflik berdarah di Poso, Sulawesi Tengah menjadi catatan kelam Bangsa Indonesia. Konflik yang hanya mendatangkan luka dan kepedihan bagi perjalanan bangsa dan negara ini sejatinya harus dipetik sebagai pelajaran berharga agar tidak ada lagi cerita-cerita pilu di masa mendatang.
“Tokoh Muslim Poso Kiyai H. Muhammad Adnan Arsal berinisiatif bergerak melunturkan stigma negatif yang sudah kadung melekat pada Poso. Akibat konflik tersebut, stigma negatif Poso sebagai daerah konflik nan berbahaya terlajur melekat di benak masyarakat, khususnya di daerah lain.
Panglima Damai Poso ini kini hadir di Bima untuk berbagi kisah tentang konflik panjang dan berdasar di sana. “Saya tiba di Bima, seperti kampung saya sendiri. Saya juga bertemu dengan orang-orang Bima yang dulu pernah di Poso, pertemuan yang mengharukan,” ungkapnya kepada wartawan saat silaturrahmi di Hotel Marina Inn Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Jumat (17/9/2021).
Kiyai Adnan Arsal juga adalah Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Poso bakal menggelar bedah buku ‘Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso. Dalam buku itu diceritakannya bagaimana situasi Poso sebelum konflik, awal konflik hingga pertumpahan darah.
Ditegaskannya, tidak ada hal positif yang bisa diambil dari konflik berdarah di Bumi Sintowo Maroso.
Untuk itu dalam menyelesaikan konflik dialog harus terus didorong, tidak hanya ditingkat tokoh, namun juga hingga ke bawah. “Lewat acara bedah buku tersebut, “Kiyai Adnan berharap publik Indonesia secara keseluruhan dapat memahami bahwa kini Poso sudah menjadi daerah yang damai, sedang membangun peradaban baru yang mengedepankan kemajemukan, moderenisasi dan pendidikan bagi warganya, agar tidak mudah terhasut dengan ajakan-ajakan konflik horizontal di masa mendatang. “Apapun motifnya, tidak ada ruang untuk konflik di Poso, terlebih, di bumi Indonesia,” ujarnya.
“Adnan yang juga mantan Panglima Mujahid saat konflik Poso ini menjelaskan, bedah buku sendiri akan dilaksanakan Sabtu (18/9/2021) di Pondok Pesantren Al Madinah, Bima, Nusa Tenggara Barat.
Bima dipilih sebagai lokasi acara lantaran pada saat konflik, banyak warga dari Bima yang berangkat ke Poso untuk angkat senjata, khususnya santri-santri yang termakan hasutan sesat. Oleh karenanya, agar tidak ada lagi kejadia serupa, Bima dipilih menjadi lokasi bedah buku.
“Harapannya dengan bedah buku tersebut, stigma negatif Poso sebagai daerah konflik akan luntur dan masyarakat Indonesia pada umumnya dapat melihat Poso sebagai daerah yang aman dan nyaman.
Bumi Sintuwu Maroso itu asri, sangat menarik untuk dikunjungi, bahkan ditinggali,” demikian Adnan Arsal.
Terlebih, santri-santri dari Ponpes Al Madinah diketahui sempat datang ke Poso di masa-masa konflik, padahal tidak ada anjuran atau perintah untuk datang ke Poso dari Ponpes.
“Kami tidak pernah meminta para santri untuk berangkat ke Poso, itu semua inisiatif mereka karena termakan hasutan dari pihak yang ingin Poso menjadi wilayah konflik berkepanjangan,” ungkap Pengurus Ponpes Al Madinah Uztaz Bunyamin, SPd.
Ditegaskannya, Ponpes Al Madinah tidak hadir untuk “memproduksi” para teroris, apalagi memusuhi negara. Baginya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
“Bunyamin juga mengaku senang dengan kehadiran H Muhammad Adnan Arsal. Tidak disangkanya, harapannya agar sosok Panglima Poso ini bisa hadir di Bima dapat terwujud.
“Wakil Bupati Bima Drs H Dahlan M. Noer dijadwalkan hadir untuk menjadi key note speaker. Selain Wakil Bupati, acara tersebut juga akan diisi oleh Ketua MUI Bima Abdurrahim Haris, Penulis buku Khoirul Anam, Perwakilan dari MUI Pusat Najih Aromdloni, Ustaz Bunyamin selaku tuan rumah dan tentu saja Kiai Adnan Arsal sebagai narasumber utama.
“Sementara itu, Penulis Buku Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso, Khoirul Anam mengatakan, sosok dalam buku yang ditulisnya telah dianggapnya sebagai orang tua sendiri. Dilihatnya ada keteladanan seorang pemimpin dalam mengayomi dan menginginkan kedamaian untuk Poso.
Diungkapkannya, sejak awal diterbitkannya buku tersebut, sudah merencanakan untuk bedah buku di Bima. Karena banyak orang Bima yang sebelumnya ikut berjuang bersama ketika konflik di Poso.
“Selain itu, kata Anam, bedah buku ini untuk berbagi pesan tentang konflik yang hanya memunculkan kesengsaraan. Juga pentingnya ketegasan pemerintah dan aparat dalam meredam akar konflik. Tutupnya, (Fajar)