oleh

Bima Berjoki Diajang HARI ANAK NASIONAL 23 juli 2022

-Opini-Ikuti Berita Kami Di Apl Google play / Koran Digital EPAPER

Yuk Baca Liputannews17.com

Dapatkan update informasi pilihan setiap hari artikel/berita #Liputannews17 Follow: @Liputannews on Twitter | Liputannews on Facebook | Liputannews on Instagram | Koran Digital : E-PAPER Liputannews17 | Apl Android Google Play Liputannews17 https://play.google.com/store/apps/details?id=com.asratech.berita.liputannews17

Dengan bergabung di Group Telegram Liputannews17 Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.

Liputannews17.com media Publis 

Kabupaten Bima dalam ajang penghargaan untuk Kabupaten Layak Anak yang dihelat oleh kementerian PPPA RI dalam menyambut Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2022 hanya mampu bertengger pada Kategori Pratama dan menyisakan impian untuk naik ke Kategori Madya.

“Penghargaan KLA untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota Seluruh Indonesia dilakukan dengan Daring di Ruang Kantor Bupati Bima pada tanggal 22 Juli 2022”

Kondisi ini mungkin sedikit beralasan karena salah satunya gonjang-ganjing keterlibatan anak dalam ajang pecuan kuda di Kabupaten Bima yang disebut dengan Joki Cilik. Joki Cilik memang seakan tidak bisa dipisahkan dengan pacuan kuda, kebiasaan ini terus mengakar seiring dengan terus genjotnya pacuan kuda sebagai daya tarik wisata di kabupaten Bima.

Perdebatan joki cilik sebagai bagian dari keunikan dan budaya terus bersinggungan dengan gencarnya upaya pemerhati anak dalam memastikan tentang hak-hak anak yang harus dipenuhi sehingga tidak mengarah ke eksploitasi anak. Bahkan Bupati Bima mengeluarkan Surat Edaran tentang Joki Cilik adalah bagian dari eksploitasi anak di Kabupaten Bima.

Sepertinya Kabupaten Bima harus berbenah dalam mencarikan regulasi yang tepat dalam memaknai tentang pacuan kuda yang melibatkan joki cilik. Ada banyak hal yang harus dimaknai tentang Joki Cilik, bahwa keselamatan jiwa dan raga anak adalah menjadi hal yang perioritas termasuk akses pendidikan, kesehatan dan lingkungan bermain bagi anak juga harus menjadi pertimbangan. Kondisi ini menjadi catatan untuk dilakukan elaborasi dari semua stakeholder untuk mencarikan alternatif terbaik bagi daerah Kabupaten Bima.

Mengungkap Realitas Joki Cilik dalam Bingkai Budaya Lokal Pacuan Kuda

Budaya pacuan kuda dengan melibatkan anak usia 6-12 tahun sebagai joki cilik di Sumbawa menjadi sorotan dan kecaman dalam kacamata para pemerhati anak, khususnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA).

Pelibatan anak di bawah umur yang dipekerjakan sebagai joki cilik ini dituding sebagai bentuk eksploitasi terhadap anak-anak.

Fenomena ini muncul ke publik dan menjadi catatan hitam pada pacuan kuda dengan joki anak pasca insiden meninggalnya salah seorang joki cilik pada pacuan kuda yang diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT TNI ke 67 memperebutkan piala wali kota Bima tahun 2019.

Peristiwa tersebut mendorong para pemerhati anak untuk menghentikan praktik pelibatan anak-anak yang dipekerjakan sebagai joki cilik dalam pacuan kuda di NTB ini. Di sisi lain, pacuan kuda dengan joki cilik ini telah terkonstruksi dalam masyarakat sebagai praktik Budaya masyarakat yang secara turun-temurun terus dipertahankan.

Isu ini kemudian menjadi menarik untuk dibedah mengingat adanya pro kontra antara upaya perlindungan anak di satu sisi dan pandangan kultural masyarakat dalam memaknai anak sebagai joki cilik di sisi yang lain.

Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menggali dan mendeskripsikan pandangan kultural masyarakat dalam melihat fenomena joki cilik yang telah bertahan hingga saat ini sekaligus memotret pandangan tentang tuduhan eksploitasi terhadap anak yang menjadi joki cilik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan case study melibatkan 7 anak yang menjadi joki berusia antara 6-12 tahun, orang tuanya, budayawan, dan Lembaga Perlindungan Anak  di NTB. Wawancara secara mendalam dilakukakan dengan anak dan orang tuanya untuk mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka yang berbeda-beda tentang kehidupannya sebagai joki cilik. Pada bagian refleksi, studi ini kemudian berusaha memaknai kembali persepsi masyarakat (anak yang menjadi joki, orang tua, budayawan, dan LPA) dalam melihat fenomena joki cilik, baik pada pandangan yang berkiblat pada ideologi universalisme maupun relativisme kultural.

Penelitian ini sama sekali tidak bermaksud mendukung eksploitasi anak, namun lebih melihat pada bagaimana praktik joki cilik ini dimaknai secara kultural oleh masyarakat setempat, dimana masa kanak-kanak tidak dapat dimaknai secara tunggal.

Hasil riset ini menentang pandangan universal bahwa pekerja anak (anak yang menjadi joki) merupakan aktivitas yang merugikan dan merusak kesejahteraan anak-anak, melainkan harus memperhatikan konteks lokal dan mendengar lebih dekat pandangan anak-anak dan orang tuanya tentang sisi positif dan manfaat atas aktivitas mereka, dalam hal ini praktik joki cilik yang telah menjadi budaya turun-temurun dalam masyarakat. Tidak melarang anak-anak dalam bekerja bukan berarti kita berlepas tangan terhadap aspek perlindungan dan keamanan mereka.

Kata Kunci : Joki Cilik, Budaya Lokal, Eksploitasi Anak, Pacuan Kuda

By: DIDIN ROHMANUDDIN, Nurhadi, S.Sos, M.Si, Ph.D  ( MAGISTER PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN ) & Ibrahim SE

 

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

News Feed