Liputannews17.com, Yogyakarta – Pemuda dan Ekstremisme Beragama merupakan tema besar acara Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Yogyakarta bekerja sama dengan Cangkir Opini, bertempat di Sagan Heritage Hotel Yogyakarta, Senin (30/08/2021), dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Acara tersebut menghadirkan narasumber seperti Nasir Abbas (mantan napiter alumni Afganistan), Subhan Setowara, M.A. (Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar), dan Mu’arif (Sejarawan Muhammadiyah).
Ketua Umum DPD IMM DIY, M. Akmal Ahsan dalam sambutannya menyampaikan, bahwa selain agenda kerjasama dialog dan FGD, DPD IMM Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga sedang fokus dalam sebuah Gerakan kemanusiaan yang bernama JogjaBangkit.
“JogjaBangkit adalah wujud pergerakan untuk merespon pandemi. Gerakan ini setidaknya menyasar warga Isolasi Mandiri, pedagang terdampak, dan masyarakat marginal. Hingga hari ini ratusan sembako dan nasi bungkus telah didistribusikan kepada masyarakat dan masih akan terus berlangsung hingga beberapa waktu mendatang,” kata Akmal.
Direktur Eksekutif Cangkir Opini, Zaki Ma’ruf menjelaskan, bahwa agenda ini dikonsep lebih aktif dan interaktif agar peserta dapat lebih aktif dalam berdiskusi dan tidak satu arah.
“Agenda ini di awali dengan dialog tentang ekstrimisme dalam beragama, dan akan dilanjutkan dengan diskusi per kelompok yang nantinya akan melahirkan sebuah narasi dan gerakan dalam menyuarakan moderasi beragama,” ungkap Ma’ruf.
Mantan napiter alumni Afghanistan, Nasir Abbas, menceritakan tentang bagaimana awal mula serta perjalanannya mengenal teroris dan ekstrimis. Dimulai dari awal dia ke Afganistan untuk melanjutkan pendidikannya hingga tergabungnya ke gerakan teroris dengan melewati beberapa organisasi seperti Negara Islam Indonesia (NII).
“Dari umur 15 tahun saya sudah ke Afghanistan dengan niat untuk melanjutkan pendidikan, namun karena tidak memiliki ijazah pada akhirnya saya masuk NII, dan dari situ awal mula saya mengenal dengan gerakan terorisme dan ekstrimisme,” ceritanya.
Dilanjutkan dengan pemaparan Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar, Subhan Setowara yang memaparkan tentang Taliban 2.0, dimana Taliban pada hari ini lebih lihai dalam memprofilkan diri dalam media sosial.
“Taliban 2.0 melakukan rebranding via Twitter dan konten media sosial lainnya dengan menunjukkan ciri kekinian. Setelah memasuki Kabul misalnya, para militan Taliban lantas memosting video dan foto yang menampilkan para pejuang mereka sebagai sosok orang biasa yang mudah didekati,” paparnya.
Ditutup oleh Sejarawan Muhammadiyah, Mu’arif dengan penjelasan tentang konsep dasar moderasi dalam beragama dengan menggunakan perspektif sejarah.
“Fakta-fakta historis menunjukkan bahwa kekerasan dengan mengatasnamakan agama sudah terjadi sejak zaman Sahabat Nabi, biasanya dilatarbelakangi oleh politik,” jelas Ma’arif.( Red)