MATARAM–Menjelang penutup tahun, Tim Ekspedisi Mistis PDIP NTB dan Mi6 menggali simbol pluralisme dan keberagaman di Pulau Lombok. Simbol tersebut mewujud dalam “Air Muallaf” di Dusun Tragtag, Desa Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Di sana, sumber mata air dari Pura, berpuluh-puluh tahun dialirkan untuk kebutuhan Umat Islam beribadah di sebuah Masjid.
Ekspedisi kali ini begitu istimewa lantaran Ketua Dewan Pembina Tim Ekspedisi H Rachmat Hidayat turun langsung. Anggota Komisi VIII DPR RI dari PDI Perjuangan tersebut didampingi Ketua Tim Ekspedisi H Ruslan Turmuzi, dan Dewan Pakar Tim Ekspedisi, di antaranya Dr Saiful Hamdi, Dr Azrin. Hadir juga Anggota Fraksi PDIP DPRD Lombok Barat dari Dapil Lingsar-Narmada, H Sardian.
Kedatangan Tim Ekspedisi disambut pemuka agama Islam dan pemuka agama Hindu di Desa Batu Kumbung. Kepala Desa Batu Kumbung H Wirya Adi Saputra kemudian memandu rombongan menuju Pura Pancor Munjuk di Dusun Traktak. Di pura yang dibangun pada tahun 1918 inilah, terdapat sumber mata air Pancor Munjuk, yang kini disebut “Air Muallaf.
Saat tim ekspedisi tiba, sudah menunggu di sana Ketua Kramapura I Made Putra Usada, sekaligus Ketua Banjar dan para pemuka Agama Hindu, pemuka Agama Islam, kepala dusun, dan sejumlah tokoh dan perwakilan warga.
Dengan dipandu Ketua Kramapura, Tim Ekspedisi kemudian melihat langsung sumber mata “Air Muallaf” yang berada di bagian paling atas Pura. Sumber air itu kini sudah ditata, terlindungi dalam lingkaran beton mirip seperti lingkaran sumur. Di dalamnya, air jernih terus menguar dari dalam tanah. Tak pernah mengering semenjak Pura itu dibangun satu abad silam.
Dari sumber mata air ini, air kemudian dialirkan melalui saluran yang dibuat khusus di bawah tanah ke dua kantung reservoar. Dari sana, air dibagi ke tempat pemandian umum yang digunakan baik oleh warga Hindu maupun Muslim. Tempat untuk laki-laki dan perempuan dibuat terpisah. Dan di tempat pemandian ini, air tak pernah berhenti mengalir. Di sini, sebuah reservoar khusus dibuat untuk mengalirkan air ke Masjid Hidayatul Islam yang berjarak 300 meter dari Pura Pancor Munjuk. Di sana, air digunakan oleh umat Muslim untuk beribadah setiap hari.
Semua bermula dari kesulitan air di masa lalu. Saat Masjid Hidayatul Islam dibangun secara sederhana, sumur yang dibangun oleh umat Muslim pada waktu itu di dekat Masjid, tidak memiliki air bersih yang memadai. Sehingga hal tersebut menyulitkan umat Islam yang hendak beribadah.
Tokoh masyarakat Hindu dan tokoh masyarakat Islam kemudian berembuk. Dan semenjak itu, air dari Pura Pancor Munjuk dialirkan ke Masjid Hidayatul Islam. Semula dengan cara yang sederhana. Baru pada tahun 2016, sistem alirannya dibuat menjadi lebih bagus dengan menggunakan jaringan perpipaan dan reservoar yang bisa disaksikan masyarakat saat ini.
“Sesungguhnya kami Umat Hindu dan Umat Islam di di sini berasal dari leluhur yang sama,” kata Made Putra.
Dahulu, saat pura dibangun pada tahun 1918, empat orang leluhur mereka datang dari Karangasem dan bermukim di sana. Dari empat leluhur inilah jumlah warga terus lahir dan bertambah. Dalam perkembangannya, warga kemudian sebagian memeluk agama Islam. Sebagian lagi tetap memeluk agama Hindu. Dan bahkan pernikahan warga di antara kedua pemeluk agama juga terjadi. Semisal, warga Muslim menikahi warga yang beragama Hindu yang kemudian muallaf.
Tak heran, kehidupan masyarakat di Desa Batu Kumbung begitu guyub dan rukun. Tak pernah ada pertentangan antara warga di sana. Di sinilah, praktik toleransi antar umat beragama benar-benar dipraktikkan.
Ambil contoh misalnya saat ada warga yang meninggal. Begitu ada pengumuman berita kematian di masjid atau musala, umat Hindu kemudian akan secara serentak mengumpulkan uang duka untuk kemudian membantu keluarga Muslim yang sedang ditimpa musibah. Pun begitu saat ada umat Hindu yang meninggal. Hal serupa juga dilakukan oleh umat Muslim. Begitu pula pada saat ada hajatan. Mereka saling membantu satu sama lain.
“Tradisi seperti ini sudah ada semenjak kami bahkan belum lahir. Ini adalah peninggalan leluhur kami,” kata Made Putra.
Antar kedua umat beragama pun begitu saling menjaga satu sama lain. Menyadari bahwa mata air dari Pura Pancor Munjuk dialirkan ke Masjid Hidayatul Islam untuk kebutuhan umat Islam beribadah, maka leluhur umat Hindu membuat aturan yang sangat tegas. Bahwa tidak boleh ada upacara yang menghadirkan daging babi di pura. Di Pura ini, babi tak boleh ada, tak juga boleh didatangkan atau dibawa untuk disembelih, atau dagingnya diolah, dimasak, lalu disantap baik oleh perorangan atau bersama-sama di sana. Larangan itu masih terjaga hingga kini.
“Jadi kalau ada upacara, kami umat Hindu menyembelih kerbau,” kata Made Putra.
Suci Menyucikan
H Tantowi, tokoh agama Islam yang hadir berbincang dengan tim ekspedisi menekankan, dengan cara itulah, maka air yang mengalir dari Pura ke Masjid tetap terjaga kesuciannya. Sehingga memenuhi kaidah dan unsur air yang suci menyucikan bagi umat Islam sesuai dengan kaidah Fiqih.
Dikatakan, baik umat Islam maupun umat Hindu begitu bersyukur, bahwa leluhur mereka telah mewariskan secara turun temurun tentang pentingya toleransi, saling menghormati, meski mereka berbeda keyakinan.
“Apa yang kami lakukan hingga hari ini, adalah sepenuhnya mengikuti apa yang sudah dilakukan leluhur kami lebih dari satu abad,” kata H Tantowi, yang merupakan paman dari Made Putra, lantaran menikahi bibi tokoh yang karib disapa Made Arab tersebut.
Dewan Pembina Tim Ekspedisi H Rachmat Hidayat sendiri mengaku begitu takjub atas komitmen yang begitu tinggi masyarakat Muslim dan masyarakat Hindu di Desa Batu Kumbung yang telah merawat keberagaman sedemikian indahnya. Itulah mengapa dirinya melabeli Desa Batu Kumbung sebagai tamansarinya keberagaman di NTB dan juga di Indonesia.
“Bagi mereka yang belum juga memahami arti pentingnya ke-Indonesiaan, datanglah belajar ke Desa Batu Kumbung,” kata Anggota Komisi VIII DPR RI ini.
Rachmat menegaskan, Desa Batu Kumbung layak masuk menjadi teladan toleransi dunia, karena telah memberikan contoh toleransi yang baik antarumat beragama. Di desa ini juga terdapat dusun yang diplot sebagai “Kampung Toleransi” yakni Dusun Tragtag. Dimana harmonisasi dua suku yaitu Suku Bali dan Suku Sasak yang hidup rukun berdampingan.
Hal itu dinilai Rachmat sebagai bentuk konkret pengimplementasian nilai-nilai Pancasila.
“Di Batu Kumbung inilah kita melihat Pancasila. Ada keberterimaan, toleransi, dan keberagamaan,” tandas Rachmat.
Ditegaskan tokoh kharismatik Bumi Gora ini, Air Muallaf yang ada di Desa Batu Kumbung ini, tak ubahnya adalah simbol abadi pluralisme di Pulau Seribu Masjid.
“Ini sungguh pembelajaran yang sangat berharga untuk kita yang hidup di saat ini, dan bagi anak-anak cucu kita yang hidup di masa yang akan datang,” imbuhnya.
Ketua Tim Ekspedisi H Ruslan Turmuzi menambahkan, Tim Ekspedisi datang secara khusus untuk melihat langsung simbol abadi pluralisme Air Muallaf tersebut, untuk membuka pemahaman khalayak tentang pentingnya seluruh umat beragama di Pulau Lombok dan Sumbawa, agar terus menjaga dan merawat keberagaman.
“Di mana ada keberagaman, di situlah sesungguhnya ada kekuatan,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur M16 Bambang Mei Finarwanto menegaskan, hubungan kedua umat beragama yang terjalin sangat baik di Desa Batu Kumbung adalah sebuah Masterpiece atau ‘Hasil Karya’ yang tak ternilai harganya.
Oleh karenanya, dirinya ingin agar kerukunan yang damai menjadi spirit yang terus dirawat dan dijaga. Daerah-daerah juga diajak mencontoh Desa Batu Kumbung dalam hal bagaimana merawat keberagaman tersebut.
Saat ini, menurut Kepala Desa Batu Kumbung Wirya Adi Saputra, dari delapan ribu jiwa yang bermukim di desa yang dipimpinnya ini, 70 persen memeluk agama Islam. Sementara sisanya adalah pemeluk agama Hindu.