oleh

Pasangan Jilbab Ijo, Rohmi-Firin Digempur Isu Stigma Kepemimpinan Perempuan, Mi6 Sebut Tanda Pesaing Kian Khawatir

-Liputan Politik-Ikuti Berita Kami Di Apl Google play / Koran Digital EPAPER

MATARAM-Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 meyakini bakal datang era baru dalam kepemimpinan di NTB selepas Pilkada serentak 2024. Dukungan publik yang kian meluas untuk pasangan Jilbab Ijo, Hj Sitti Rohmi Djalilah-HW Musyafirin, bakal mendekatkan pasangan perpaduan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa ini kian dekat dengan kemenangan.

”Sebagai kandidat perempuan, Jilbab Ijo, Rohmi mengantongi dukungan kuat dari kelompok marginal dan minoritas yang merasa terwakili. Dukungan ini semakin memberikan pasangan Rohmi-Firin basis pemilih yang loyal dan solid,” kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto menyampaikan analisis terbarunya terkait Pilkada NTB, di Mataram, Selasa (2/7/2024).

Analis politik kawakan Bumi Gora yang karib disapa Didu ini membeberkan hasil sigi sejumlah lembaga survei yang menempatkan pasangan Rohmi-Firin kian leading atas kandidat lainnya. Dua bulan sebelum pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur NTB resmi dibuka, elektabilitas pasangan Rohmi-Firin bahkan sudah menembus angka 33 persen.

Kian meluasnya basis dukungan dan tingginya antusiasme publik Bumi Gora terhadap pasangan Rohmi-Firin, menurut Didu, telah memantik kekhawatiran para pesaing. Hal ini menyebabkan pasangan Rohmi-Firin pun kini mulai diserang dengan stigma kepemimpinan perempuan. Stigma tersebut mengampanyekan isu yang menempatkan perempuan belum waktunya memimpin NTB. Hal yang menurut Didu merupakan upaya nyata black campaign terstruktur, tetapi diyakini tidak akan berpengaruh signifikan.

Memang kata Didu, kandidat perempuan di Pilkada, dalam banyak kasus akan selalu dihadapkan pada besarnya perhatian yang harus diberikan untuk melawan stereotip gender. Dalam hal ini, kata Didu, kandidat perempuan sering kali harus mengatasi stereotip gender yang meremehkan kemampuan mereka untuk memimpin.

Pada saat yang sama, kandidat kepala daerah perempuan juga dihadapkan pada hambatan budaya. Hal ini mengingat, di beberapa daerah, norma budaya masih menjadi tantangan bagi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam politik.

Faktanya kata Didu, hambatan dan tantangan tersebut semakin hari kian tidak relevan. Besarnya dukungan masyarakat dan adanya kebijakan afirmatif dari otoritas pemerintahan, menyebabkan hambatan dan tantangan tersebut kian terkikis.

Sehingga yang terjadi justru sebaliknya. Keinginan publik untuk melihat lebih banyak pemimpin perempuan di arena politik, termasuk di pemilihan kepala daerah, semakin menebal dan menguat. Fenomena ini bahkan tidak hanya terjadi di NTB, namun juga terjadi di banyak daerah.

”Jadi, pasangan Rohmi-Firin ini bukan pasangan gambling. Tapi pasangan yang hadir mendobrak tradisi dan jawaban atas apa yang didambakan publik. Setiap calon kepala daerah perempuan memang selalu membawa harapan baru bagi masyarakat. Sebab, mereka adalah kandidat yang memperjuangkan inklusi, keberlanjutan, dan keadilan dalam setiap aspek,” ucap Didu.

Bukti paling kuat yang menunjukkan betapa publik Bumi Gora kian mendambakan kepemimpinan perempuan tergambar dalam hasil Pemilu Legislatif tahun 2024 yang belum lama usai. Untuk kandidat DPR RI misalnya, di Daerah Pemilihan Pulau Sumbawa, kandidat peraih suara tertinggi adalah kandidat perempuan dari Partai Kebangkitan Bangsa. Sementara di Pulau Lombok, kandidat peraih suara tertinggi adalah kandidat perempuan yang diusung Partai Gerindra.

Begitu pula untuk kandidat DPD RI. Dari empat figur Senator Bumi Gora yang terpilih mewakili NTB di Senayan, dua di antaranya adalah kandidat perempuan. Sementara dalam konteks wakil rakyat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, jumlah keterpilihan kandidat perempuan juga meningkat signifikan.

Fenomena tersebut kata Didu, menggambarkan betapa kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender semakin meningkat di kalangan masyarakat Bumi Gora. Akibatnya, muncul pula kini banyak kampanye dan gerakan yang mendorong partisipasi perempuan dalam politik.

Pada saat yang sama, terjadi pula perubahan nilai sosial. Masyarakat Bumi Gora mulai mengadopsi nilai-nilai modern yang mengedepankan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Hal ini mendorong perubahan pandangan terhadap peran perempuan dalam kepemimpinan.

”Jangan lupa, jumlah pemilih perempuan juga lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Selalu ada rasa solidaritas yang kuat di antara pemilih perempuan yang mendukung kandidat perempuan. Mereka melihat kemenangan kandidat perempuan sebagai kemenangan kolektif dalam upaya memperjuangkan kesetaraan gender,” kata Didu.

*Jangan Ada Overkonfidensi*

Meski basis dukungan kian meluas dan memiliki sosok unggul pada diri Jilbab Ijo, Didu mengingatkan agar pasangan Rohmi-Firin tidak terlena. Sebab, hasil kajian Mi6 menunjukkan, bagi kandidat kepala daerah yang merasa memiliki dukungan kuat, akan muncul godaan untuk merasa aman dan menganggap bahwa kemenangan sudah pasti. Padahal, sikap terlena ini kata Didu, bisa menjadi bumerang yang serius.

Dalam pesta demokrasi seperti Pilkada, Didu menjelaskan, selalu ada volatilitas pemilih. Dukungan masyarakat bisa sangat dinamis. Pemilih yang sebelumnya mendukung kandidat tertentu, bisa mengubah pilihan mereka berdasarkan berbagai faktor.

Harus dihitung pula strategi kampanye pesaing. Sebab, kandidat lain mungkin mengadopsi strategi kampanye yang lebih agresif atau inovatif, yang bisa menarik perhatian pemilih dan mengalihkan dukungan dari kandidat yang merasa aman. Termasuk pula memperhitungkan kemungkinan munculnya aliansi dan koalisi baru yang bisa mengubah dinamika.

Karena itu Didu mengingatkan, kerja-kerja tim pemenangan pasangan Rohmi-Firin masih jauh dari kata usai. Pasangan yang mendapat dukungan dari Nadhaltul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI), organisasi massa Islam terbesar di NTB ini, harus terus dapat menjaga momentum hingga hari penentuan di mana publik Bumi Gora datang menyalurkan hak pilihnya ke bilik suara.

Upaya untuk terus menjaga momentum tetap terpelihara tersebut masih terbuka lebar bagi pasangan Rohmi-Firin. Didu memberi contoh. Saat ini misalnya, banyak hal yang masih belum terdeliver dengan baik kepada para pemilih terkait sosok Musyafirin. Tak banyak yang tahu, Bupati Sumbawa Barat yang memiliki sederet prestasi tersebut, adalah Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Sumbawa Barat.

Selama ini, publik hanya mengetahui Firin adalah birokrat dengan kapasitas kepemimpinan yang teruji, lalu menjadi Bupati dua periode di Bumi Pariri Lema Bariri, dan politisi PDI Perjuangan. Sementara perkhidmatan dan pengabdian panjangnya di Nahdlatul Ulama (NU), justru tidak banyak yang mengetahui.

Didu meyakini, semakin banyak khalayak yang mengetahui pengabdian dan perkhidmatan Musyafirin di NU, akan menjadikan basis dukungan pemilih bagi pasangan Rohmi-Firin juga semakin meluas. Hal ini lantaran, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat. NU tidak hanya memengaruhi aspek keagamaan, tetapi juga sosial, ekonomi, dan politik.

”Bagi kandidat kepala daerah, memiliki rekam jejak dalam perkhidmatan dan pengabdian kepada organisasi massa Islam, terbukti menjadi salah satu faktor kunci dalam membangun kepercayaan dan mendapatkan dukungan publik,” ucap Didu.

Hal lain yang masih perlu dimaksimalkan oleh pasangan Rohmi-Firin kata Didu adalah perlu kian masifnya kampanye lintas wilayah. Sebagai figur yang merepresentasikan Pulau Lombok, Didu menyarankan Rohmi untuk juga datang langsung menyapa masyarakat di Pulau Sumbawa. Banyak warga Pulau Sumbawa yang merindukan pula kehadiran Rohmi di sana.

Rohmi misalnya bisa mengunjungi warga Pulau Lombok yang transmigrasi di Pulau Sumbawa. Rohmi juga bisa bertatap muka langsung dengan para Pedagang Kaki Lima dari kalangan kaum perempuan di seluruh Pulau Sumbawa, yang jumlahnya juga sangat signifikan.

Demikian pula halnya dengan Musyafirin. Harus juga menyapa langsung masyarakat di Pulau Lombok. Sebagai Ketua PCNU, Haji Firin bisa berkomunikasi dan bertatap muka langsung dengan para Nahdliyin di Pulau Seribu Masjid. Bisa pulau berkomunikasi dengan badan-badan otonom NU seperti Fatayat dan lainnya.

”Tentu cross campaign ini harus dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Bukan hanya sekali dua kali,” kata Didu.

Mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB dua periode ini menjelaskan, pasangan kepala daerah yang berasal dari dua wilayah berbeda sering kali menghadapi tantangan unik. Dimana mereka harus mampu menggabungkan dan mengelola dukungan dari basis pendukung yang beragam secara geografis dan budaya.

Terkadang kata Didu, wilayah asal kandidat memiliki loyalitas yang kuat yang mungkin tidak serta merta diterima di wilayah lainnya. Hal ini bisa menimbulkan kesenjangan dalam dukungan dan memerlukan pendekatan untuk menyatukan pemilih. Karena itu kata dia, dalam hal ini, metode kampanye lintas wilayah atau cross campaign menjadi penting untuk memperluas basis dukungan dan memastikan keberhasilan kinerja tim pemenangan.

”Cross campaign itu bagian dari upaya menjaga momentum hingga akhir. Meraih kemenangan dalam Pilkada tidak cukup hanya dengan memulai dengan baik. Tapi butuh konsistensi dan fokus pada tujuan hingga akhir,” tutup Didu.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

News Feed